PENDAHULUAN
Kajian kali ini menyoroti masalah yang sering dilakukan banyak orang dan menganggapnya sebagai bentuk ibadah yang harus melakukan, yaitu berziarah kubur setiap hari Jum’at.
Apakah perbuatan ini ada landasannya? Apakah hadits yang berkenaan dengan itu dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya.
HADITS PERTAMA:
Kajian kali ini menyoroti masalah yang sering dilakukan banyak orang dan menganggapnya sebagai bentuk ibadah yang harus melakukan, yaitu berziarah kubur setiap hari Jum’at.
Apakah perbuatan ini ada landasannya? Apakah hadits yang berkenaan dengan itu dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya.
HADITS PERTAMA:
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فيِ كُلَّ
جُمُعَةٍ؛ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بِرًّا
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau
salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya akan diampuni baginya dan
dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).”
Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)
Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini dikeluarkan oleh ath-Thabarani di dalam kitabnya ‘al-Jami’ ash-Shaghir’ (hal.199) dan di dalam ‘al-Jami’ al-Ausath’ (I:84). Al-Ashbihani juga menukil darinya di dalam kitabnya ‘at-Targhib’ (II:228), dari jalur Muhammad bin an-Nu’man bin Abdurrahman, dari Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali, dari Abdul Karim, Abi Umayyah, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara Marfu’.
‘Illat (Penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama Muhammad bin an-Nu’man dan Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali. Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya ‘Miiizaan al-I’tidaal’ berkata, “Ia (Muhammad bin an-Nu’man) adalah periwayat yang Majhul (anonim), Demikian yang dinyatakan al-‘Uqaili sedangkan Yahya adalah periwayat yang ditinggalkan (Matruk).”
Para ulama sepakat menyatakan bahwa Yahya adalah periwayat yang Dla’if, bahkan oleh al-Waki’ dan Imam Ahmad dinyatakan sebagai pembohong. Imam Ahmad mengatakan, “Ia seorang pembohong, suka memalsukan hadits.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibn ‘Adi
‘Illat lainnya -menurut Syaikh al-Albani- adalah Idhthiraab (inkonsistensi dalam periwayatannya).
Ibnu Abi Hatim pernah menanyakan perihal hadits Mudhtharib ini kepada ayahnya (Abu Hatim), yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna, dari Muhammad bin an-Nu’man, Abi an-Nu’man al-Bahili, dari Yahya bin al-‘Ala’, dari pamannya, Khalid bin ‘Amir, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW mengenai seorang laki-laki yang mendurhakai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu keduanya meninggal dunia, lantas ia (orang tersebut, sang anak-red) datang ke kuburannya setiap malam. Abu Hatim mengatakan, “Sanad hadits ini Mudhtharib, matan (teks)nya sangat Munkar, sepertinya ia hadits MAWDHU’.”
Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)
Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini dikeluarkan oleh ath-Thabarani di dalam kitabnya ‘al-Jami’ ash-Shaghir’ (hal.199) dan di dalam ‘al-Jami’ al-Ausath’ (I:84). Al-Ashbihani juga menukil darinya di dalam kitabnya ‘at-Targhib’ (II:228), dari jalur Muhammad bin an-Nu’man bin Abdurrahman, dari Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali, dari Abdul Karim, Abi Umayyah, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara Marfu’.
‘Illat (Penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama Muhammad bin an-Nu’man dan Yahya bin al-‘Ala’ al-Bajali. Imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya ‘Miiizaan al-I’tidaal’ berkata, “Ia (Muhammad bin an-Nu’man) adalah periwayat yang Majhul (anonim), Demikian yang dinyatakan al-‘Uqaili sedangkan Yahya adalah periwayat yang ditinggalkan (Matruk).”
Para ulama sepakat menyatakan bahwa Yahya adalah periwayat yang Dla’if, bahkan oleh al-Waki’ dan Imam Ahmad dinyatakan sebagai pembohong. Imam Ahmad mengatakan, “Ia seorang pembohong, suka memalsukan hadits.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibn ‘Adi
‘Illat lainnya -menurut Syaikh al-Albani- adalah Idhthiraab (inkonsistensi dalam periwayatannya).
Ibnu Abi Hatim pernah menanyakan perihal hadits Mudhtharib ini kepada ayahnya (Abu Hatim), yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna, dari Muhammad bin an-Nu’man, Abi an-Nu’man al-Bahili, dari Yahya bin al-‘Ala’, dari pamannya, Khalid bin ‘Amir, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW mengenai seorang laki-laki yang mendurhakai kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu keduanya meninggal dunia, lantas ia (orang tersebut, sang anak-red) datang ke kuburannya setiap malam. Abu Hatim mengatakan, “Sanad hadits ini Mudhtharib, matan (teks)nya sangat Munkar, sepertinya ia hadits MAWDHU’.”
HADITS KEDUA:
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ، فَقَرَأَ
عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ (يس)؛ غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ
“Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya
setiap hari Jum’at, lalu membaca (surat Yaasiin) di sisi keduanya (di sisinya),
niscaya diampuni baginya sebanyak bilangan setiap ayat atau huruf (yang
dibacanya-red)”
Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)
Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Ady (I:286), Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashbihaan (II:344-345), Abdul Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan (II:91) dari jalur Abu Mas’ud, Yazid bin Khalid (ia berkata), telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’.
Sebagian ahli hadits menulis -menurut saya (al-Albani), ia adalah Ibn al-Muhibb atau adz-Dzahabi- di atas anotasi lembaran ‘Sunan al-Maqdisi’, bunyinya: “Ini adalah hadits yang tidak Tsabit (Valid).”
‘Illat (penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama ‘Amr bin Ziyad. Ia dituduh suka mencuri hadits dari para periwayat yang Tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadits. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Ibn ‘Ady dan ad-Daruquthni.
Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini memiliki pendukung (syahid) sehingga ia hanya dikatakan ‘Dha’if’ saja, bukan Mawdhu’ (palsu) tetapi Syaikh al-Albani menolak anggapan itu karena yang dijadikan ‘Syahid’ oleh as-Suyuthi itu adalah hadits pertama di atas (dalam kajian ini) yang juga adalah hadits MAWDHU’ sehingga tidak layak menjadi Syahid. Ada dua alasan: Pertama, karena secara makna keduanya berbeda, kecuali dalam makna ‘ziarah’ secara mutlak. Kedua, seperti yang disebutkan al-Munawi di dalam syarahnya terhadap a-Jami’ ash-Shaghir bahwa Ibn al-Jawzi telah menilai hadits itu Mawdhu’ namun oleh as-Suyuthi dinyatakan ada Syahidnya tetapi pendapat ini adalah tidak tepat karena menurut Ahli hadits, adanya beberapa syahid tidak berpengaruh pada hadits yang kualitasnya Mawdhu’, bahkan hadits Dha’if dan semisalnya sekali pun.
Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca al-Qur’an di sisi kuburan tetapi kenyataannya di dalam sunnah yang benar tidak terdapat dalil yang menguatkan hal itu bahkan (sunnah yang benar) menunjukkan bahwa yang disyari’atkan ketika berziarah kubur hanyalah memberi salam kepada Ahli kubur dan mengingat akhirat. Itu saja.! Dan seperti inilah amalan para ulama Salaf ash-Shalih.
Jadi, membaca al-Qur’an di sisi kuburan itu adalah Bid’ah Makruuhah. Demikian seperti yang dinyatakan sejumlah ulama terdahulu seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat sebagaimana yang dimuat dalam kitab Syarh al-Ihya’ karya az-Zabidi (II:285). Di dalam bukunya ini, az-Zabidi mengatakan, “karena tidak ada as-Sunnah yang menyatakan seperti itu…” Selanjutnya az-Zabidi menyebutkan pendapat ulama yang lain, yang menyatakan tidak makruh seraya berargumentasi dengan riwayat yang dinisbatkan pada Ibn ‘Umar bahwa ia mewasiatkan agar dibacakan di atas kuburannya ketika akan dikuburkan pembukaan surat al-Baqarah dan penutupnya.
Tetapi Syaikh al-Albani mengomentari dengan mengatakan, “Atsar ini tidak sahih dinisbatkan kepadanya (Ibn ‘Umar). Kalau pun shahih, maka hanya menunjukkan pembacaannya ketika akan dikuburkan, bukan secara mutlak seperti yang nampak. Karena itu, wahai saudaraku, sesama Muslim! Berpeganglah dengan as-Sunnah, hindarilah bid’ah sekali pun dipandang baik oleh banyak orang sebab setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana dalam sabda Nabi SAW.”
(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah Wal Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, no.49 dan 50, dengan sedikit diringkas)
Kualitas Hadits: MAWDHU’ (PALSU)
Syaikh al-Albani mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Ady (I:286), Abu Nu’aim di dalam Akhbaar Ashbihaan (II:344-345), Abdul Ghani al-Maqdisi di dalam as-Sunan (II:91) dari jalur Abu Mas’ud, Yazid bin Khalid (ia berkata), telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyad (yang berkata), telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddiq secara marfu’.
Sebagian ahli hadits menulis -menurut saya (al-Albani), ia adalah Ibn al-Muhibb atau adz-Dzahabi- di atas anotasi lembaran ‘Sunan al-Maqdisi’, bunyinya: “Ini adalah hadits yang tidak Tsabit (Valid).”
‘Illat (penyakit) hadits ini terletak pada periwayatnya yang bernama ‘Amr bin Ziyad. Ia dituduh suka mencuri hadits dari para periwayat yang Tsiqat (terpercaya) dan memalsukan hadits. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Ibn ‘Ady dan ad-Daruquthni.
Imam as-Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini memiliki pendukung (syahid) sehingga ia hanya dikatakan ‘Dha’if’ saja, bukan Mawdhu’ (palsu) tetapi Syaikh al-Albani menolak anggapan itu karena yang dijadikan ‘Syahid’ oleh as-Suyuthi itu adalah hadits pertama di atas (dalam kajian ini) yang juga adalah hadits MAWDHU’ sehingga tidak layak menjadi Syahid. Ada dua alasan: Pertama, karena secara makna keduanya berbeda, kecuali dalam makna ‘ziarah’ secara mutlak. Kedua, seperti yang disebutkan al-Munawi di dalam syarahnya terhadap a-Jami’ ash-Shaghir bahwa Ibn al-Jawzi telah menilai hadits itu Mawdhu’ namun oleh as-Suyuthi dinyatakan ada Syahidnya tetapi pendapat ini adalah tidak tepat karena menurut Ahli hadits, adanya beberapa syahid tidak berpengaruh pada hadits yang kualitasnya Mawdhu’, bahkan hadits Dha’if dan semisalnya sekali pun.
Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca al-Qur’an di sisi kuburan tetapi kenyataannya di dalam sunnah yang benar tidak terdapat dalil yang menguatkan hal itu bahkan (sunnah yang benar) menunjukkan bahwa yang disyari’atkan ketika berziarah kubur hanyalah memberi salam kepada Ahli kubur dan mengingat akhirat. Itu saja.! Dan seperti inilah amalan para ulama Salaf ash-Shalih.
Jadi, membaca al-Qur’an di sisi kuburan itu adalah Bid’ah Makruuhah. Demikian seperti yang dinyatakan sejumlah ulama terdahulu seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat sebagaimana yang dimuat dalam kitab Syarh al-Ihya’ karya az-Zabidi (II:285). Di dalam bukunya ini, az-Zabidi mengatakan, “karena tidak ada as-Sunnah yang menyatakan seperti itu…” Selanjutnya az-Zabidi menyebutkan pendapat ulama yang lain, yang menyatakan tidak makruh seraya berargumentasi dengan riwayat yang dinisbatkan pada Ibn ‘Umar bahwa ia mewasiatkan agar dibacakan di atas kuburannya ketika akan dikuburkan pembukaan surat al-Baqarah dan penutupnya.
Tetapi Syaikh al-Albani mengomentari dengan mengatakan, “Atsar ini tidak sahih dinisbatkan kepadanya (Ibn ‘Umar). Kalau pun shahih, maka hanya menunjukkan pembacaannya ketika akan dikuburkan, bukan secara mutlak seperti yang nampak. Karena itu, wahai saudaraku, sesama Muslim! Berpeganglah dengan as-Sunnah, hindarilah bid’ah sekali pun dipandang baik oleh banyak orang sebab setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana dalam sabda Nabi SAW.”
(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah Wal Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, no.49 dan 50, dengan sedikit diringkas)
Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=104
0 komentar:
Posting Komentar