Penulis: Ustadz Ali Musri, M.A.
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam,
sholawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat
manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para
sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka
sampai hari kiamat.
Terjemahan Hadits:
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi
shalalahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Alloh, adapun
perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang
masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya
datang langsung dari Alloh adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan
maknanya dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits
Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari Alloh baik lafaz
maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al Quran mendapat
pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat
pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan
dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang
berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa
ilmu. Wallohu a’lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah
shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu, sahabat yang
terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Nama
beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang
khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak
meriwayatkan hadits?
Pertama,
berkat doa nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang
ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua,
ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan
lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain Mereka
mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby
menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Tholhah bin
Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami
mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan
sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia
mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan
menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan
pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi
dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu
dipintu rumah Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama
tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami
tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan
tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllohu
‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan
tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya:
aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah
melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia,
aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku
selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang
beliau, maka oleh sebab itu (demi Alloh) aku menjadi orang yang paling tahu
dengan hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Pertama: Tentang al wala’ wal bara’
(loyalitas dan berlepas diri).
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian
kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa
menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu
bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin
kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan
sunnah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat
menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling
nomor satu dalam memusuhi wali-wali Alloh adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka
sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari
seluruh wali Alloh setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia.
Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah
berjuang dijalan Alloh untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga
mereka.
Imam As Sya’bi mengungkapakan bahwa kebencian
Rafidhah kepada para wali Alloh melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada
para wali Alloh: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi
terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau
bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan
menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa
generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat
Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata,
“Sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka
tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan
sunnah supaya bisa membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah)
itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang
zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai
kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan
nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa
bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang
melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara
ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa
memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu
melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini
sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar
nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam
kepada mereka.
Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita,
yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Alloh itu? bermacam pandangan telah
mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki
hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti
tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang
berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian
lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit
berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir
selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian
yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.
Pengertian Wali
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali
Alloh terbagi kepada dua golongan:
Golongan Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari
orang-orang yang dekat dengan Alloh). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang
mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal
yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup
dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang
diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang
makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits
di atas: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan
sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan
kepadanya”.
Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan
firman-Nya:
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut
amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Alloh
dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali
ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar
menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Alloh sebaliknya bila amalannya
penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan.
Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Alloh
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri
oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan
tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang
pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua
kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut
adalah bukan wali Alloh. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam
beribadah kepada Alloh, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama
atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar.
Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat
bahwa Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan
nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Alloh dan
menjauhi apa yang dilarang Alloh. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini
yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan
amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai
wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Alloh maka ia termasuk pada jenis wali
yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun
zikir, dll.
Ciri-Ciri Wali Setan
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Alloh terangkan dalam firmanNya bahwa
setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
“Sesunguhnya setan-setan itu mewahyukankan
kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka
sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam:
121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan
berdo’a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri
karena telah menyekutukannya dengan Alloh. Manakah yang lebih tinggi kehormatan
seorang wali disisi Alloh dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih
tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa.
Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan
manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal
itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan nabi
shalAllohu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat
diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di
Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah
kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan
nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Karena
kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam
dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam
menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan
amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan
Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah
yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengikari kalau memang beliau
seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari
tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah
sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan
pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau
shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama’ah dan shalat jum’at? adakah
petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini?
Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki
atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal
belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin
setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada
orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa
memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati
dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah
amalanya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam
Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di
udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.
Karena setan bisa membawa seseorang untuk
terbang, atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang
lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang
luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala
yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian
yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang
murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang
nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa
dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:
sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat
tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman
Alloh:
“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa
turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “.
(Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca
firman Alloh, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali
Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia
tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an
dan Sunnah. Karena nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah
hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan
bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizy no: 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi
terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku
tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu
Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa
yang dikatakan wali.
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang
kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih
tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah)
dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka
mengkultuskan sang kiyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan
oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata
melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang
guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah
penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang
sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti
memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan
orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula
Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi
Alloh waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu
pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu
perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah
diberikan Alloh kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya,
atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Alloh, atau pertolongan dari
Alloh terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang
yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah.
Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka
bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah
istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi
menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam
bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru
menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang
lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat
mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak
dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Alloh kepada
mereka. Sebagaimana firman Alloh kepada Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam,
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang
rezki Alloh, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50).
Dan firman Alloh: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan
tidak pula (menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib
tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah
ditimpa kejelekkan”. (Al A’raaf: 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak
manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari
pada takut kepada Alloh, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati
yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan
semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan
kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir
Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para
wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Alloh. Hal inilah
yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Alloh dalam firmannya:
“Ingatlah milik Alloh-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang
mengambil wali (pelindung) selain Alloh berkata: kami tidak menyembah Mereka
melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”.
(Az Zumar: 3).
Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada
Alloh.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Manhaj yang benar dalam
beribadah
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Yang lebih memprihatinkan lagi kalau
bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti
maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’
mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah
tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan sholat. Begitu pula dalam
berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan
orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu sendiri.
Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tampa membicarakan
masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa
kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi
perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dawah para
rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai
dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam selama itu
pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam
Malik berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa
yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”.
Beberapa kesalahan dalam melakukan
ibadah.
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu
belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu
pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara
dalam agama, padahal baca al fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar
gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan,
dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau
sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita
justru belajar kepada siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya. Alloh telah
berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa:
36).
Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang
dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah
hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan
tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah
orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya
fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku
menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari
kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min hadza haal. Alloh telah
berfirman: “Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan
dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak
memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap
jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu
atau berilmu tapi tidak beramal.
“Ya Alloh tujukilah kami Jalan yang lurus.
Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan
orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al
Fatihah: 6-7).
Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shalAllohu ‘alaihi
wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena
Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut.
Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka
beramal tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan melakukan amalan-amalan
sunnah.
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara keutamaan amalan sunnah adalah
untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya.
Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib
artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam
shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu
pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar
adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang
utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa
adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya
dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai
dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka
disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang
akan kita lakukan.
Ketiga: Tentang sifat Alloh Al Kalam
(berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan
sifat-sifat Alloh.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
-
Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shohih.
-
Tidak menyerupakan sifat-sifat Alloh tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
-
Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai
berikut;
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan
Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Alloh dan
rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir
dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara
yang demikian”. (An Nisaa: 150).
Dan firman Alloh lagi:
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
Kaedah pertama ini juga menunjukkan kepada kita
bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Alloh adalah sebatas adanya nash
dari Al Qu’an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya
sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang
sifat-sifat Alloh.
Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut
berarti ia lebih tahu dari Alloh dan rasul dalam menyampaikan suatu berita,
sehingga ia merubah maksud dari perkataan Alloh dan rasul-Nya. Ini adalah
kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Alloh dan
rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme
(Ahlulkalam).
Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat
Alloh dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Alloh yang Maha
Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Alloh dengan
makhluk adalah kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Alloh.
Sebagaimana firman Alloh:
“Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”.
(Asy Syura: 11).
Dan firman Alloh: ِ
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana
hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa
mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah
kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak
bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh)
manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi
semua orang meyakini bahwa ruh itu ada. tetapi mereka tidak mampu mengetahui
hakikatnya.
Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk
beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan ditunutut untuk mengetahui hakikat
sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya
masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki
gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama
kaki. Begitu pula sayab burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula
sayab burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah
seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat
sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang
Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan
dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran
makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar
Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati
seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding.
Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk
berbicara. Ada orang yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya
tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat
tersebut. Pertama ia menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu
ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti
dari semula bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu
ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tampa mesti
memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam sewaktu beliau
di Makkah. Begitu pula nanti diakhiratrkepada nabi tangan dan kaki manusia akan
berbicara menjadi saksi atas perbuatan Mereka tampa ada mulut dan lidah. Oleh
sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut
zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.
Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap
prilaku seorang muslim.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Kata-kata “senantiasa” menunjukkan bahwa
amalan tersebut berkesenambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar’i
“Istiqomah” dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu
dalam hadits lain disebutkan: “Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan
sekalipun sedikit”. Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat
saja, kemudian lalu ditinggalkan.
Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah
dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat pringkat mahabbah dari Allah,
orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi
kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan
‘inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata
seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu
yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno, dsb.
tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk kehidupan dunia
maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau membaca buku-buku agama
dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, tenik, pertanian dst. Kemudian
Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu
rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau
kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di
kampus dan disekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan
sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan, KKN
dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal
yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita
simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat menuntun seseorang kepada segala hal
yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada
kemaksiatan.
Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada
maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
Sebagaimana firman Allah:
“Maka tatkala Mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).
Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda
beliau: “Sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya
kebaikan itu menunjukan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku
jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagaia orang yang paling jujur. Dan
sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya
kemaksiata itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa
berbohong samapai dicatat di sisi Allah sebagai seoranga yang paling bohong”.
(HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no: 2607).
Dalam hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu
amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri”.
Maka jika amalannya baik, maka balasanya pun baik
dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab
itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal
shaleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan
diterima disisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan.
Kekeliruan orang sufi dalam memahami
makna hadits ini.
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa
Allah berkata: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan
memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan
melindunginya”.
Jadi jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang
meminta dan Allah yang memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang
memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab
itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk kebatilannya
dengan Al Qur’an atau hadits shohih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri
sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.
Manhaj ulama dalam memahami nas-nas yang
mutsyabih (meragukan).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Kelima: Balasan yang diberikan Allah
untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa
para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Alloh. Bukan
kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi
Alloh bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon
perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh
orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret
mereka berbuat syirik kepada Alloh. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa
mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas
pemberian Alloh kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Alloh
dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti
telah menyekutukan mereka dengan Alloh. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh
‘alaihissalam yang telah menjadikan orang-orang sholeh mereka sebagai tempat
perantara dalam berdoa kepada Alloh.
Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali
Alloh, bahwa Alloh selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut
serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan
timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadangkala para
wali Alloh itu juga ditimpa kejelekkan dan penyakit seperti nabi Ayub yang
ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam
pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh
serupa baik ditingkat para nabi dan rasul maupun ditinggkat para sahabat dan
Tabi’iin?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:
-
Diantara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
-
Diantara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Alloh, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya”. (HR. At Tirmizy no: 2398).
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya. -
Diantara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Alloh, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.
Kekeliruan sebagian orang dalam masalah
berdoa.
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Pertama:
Berdoa merupakan perintah dari Alloh, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir
tentu Alloh tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua:
Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan
rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa
sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu
Mereka tidak akan melakukannya apa lagi
menganjurkannya.
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Keempat:
Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Alloh ada dua: Takdir
kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir kauniyah
adalah ketentuan Alloh yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti
hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Alloh. Adapun takdir
syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Alloh yang
diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang
dicintai Alloh. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir
kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama.
Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir
Alloh kepada Takdir Alloh”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu
menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak
akan mencari padang rumput yang subur?.
Kelima:
Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Alloh untuk dilakukan, sebagaimana
makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab berarti
ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata
adalah syirik.
Kemudian diantara kesalahan lain dalam berdo’a
adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa
agar Alloh menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Alloh
memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka diantara sikap
wali Alloh adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam
berdoa.
Ringkasan kandungan hadits
wali:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
-
Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
-
Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
-
Tentang sifat Alloh ; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
-
Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
-
Balasan yang diberikan Alloh untuk orang yang selalu taat pada Alloh.
-
Hadits diatas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh yang hak.
-
Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Alloh karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Alloh atau kepada musuh para wali Alloh. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Alloh sebagai wali karena ia mencintai apa yang dibenci Alloh. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.
Wallohu A’lam
bisshawaab
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Sumber: http://muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar