Mukaddimah
Ada sementara kelompok agama yang sikapnya berlebihan terhadap Ahli Bait, terutama ‘Ali, berdalil dengan hadits ini (yang akan kita bahas) atas kebenaran pendapat mereka bahwa ‘Ali adalah pintu ilmu, karena itu siapa saja yang ingin memasuki rumah, maka harus lewat pintunya dan –kata mereka- satu-satunya pintu itu adalah ‘Ali, sehingga bila bukan melaluinya, maka tidak sah.
Kalau pun kualitas hadits ini dianggap shahih (padahal tidak demikian seperti yang akan dipaparkan nanti), maka tidaklah berarti ia satu-satunya pintu itu, tetapi menurut para ulama, hanya merupakan salah satu dari pintu-pintu ilmu.
Memang tidak diragukan lagi, bahwa ‘Ali merupakan ulama kalangan para shahabat dan memiliki banyak keutamaan tetapi bukan karena itu, lantas dilebih-lebihkan (bagi kalangan Ghulaat/ekstrem mereka sampai di-Tuhankan, na’uudzu billaahi min dzaalik). Apalagi bila didasari atas riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Teks seperti ini juga merupakan bagian (baca: lirik) dari salah satu lantunan seorang penyanyi dalam salah satu serialnya yang dikatakannya ‘islami’ di mana ia nampaknya penganut pendapat di atas.
Teks Hadits
Ada sementara kelompok agama yang sikapnya berlebihan terhadap Ahli Bait, terutama ‘Ali, berdalil dengan hadits ini (yang akan kita bahas) atas kebenaran pendapat mereka bahwa ‘Ali adalah pintu ilmu, karena itu siapa saja yang ingin memasuki rumah, maka harus lewat pintunya dan –kata mereka- satu-satunya pintu itu adalah ‘Ali, sehingga bila bukan melaluinya, maka tidak sah.
Kalau pun kualitas hadits ini dianggap shahih (padahal tidak demikian seperti yang akan dipaparkan nanti), maka tidaklah berarti ia satu-satunya pintu itu, tetapi menurut para ulama, hanya merupakan salah satu dari pintu-pintu ilmu.
Memang tidak diragukan lagi, bahwa ‘Ali merupakan ulama kalangan para shahabat dan memiliki banyak keutamaan tetapi bukan karena itu, lantas dilebih-lebihkan (bagi kalangan Ghulaat/ekstrem mereka sampai di-Tuhankan, na’uudzu billaahi min dzaalik). Apalagi bila didasari atas riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Teks seperti ini juga merupakan bagian (baca: lirik) dari salah satu lantunan seorang penyanyi dalam salah satu serialnya yang dikatakannya ‘islami’ di mana ia nampaknya penganut pendapat di atas.
Teks Hadits
أَنَا مَدِيْنَةُ اْلعِلْمِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا
“Aku (Rasulullah) adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah
pintunya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Turmudzy dari hadits ‘Ali seraya berakata, “Hadits Munkar.” Hadits ini juga dingkari oleh al-Bukhary. Di samping itu, juga diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak dari hadits Ibn ‘Abbas. Ia mengomentari, “Hadits Shahih.” Namun Imam adz-Dzahaby berkata, “Bahkan ia hadits Mawdlu’ (Palsu).” Abu Zur’ah berkata, “Alangkah banyaknya orang yang menyingkap boroknya.”
Ad-Daruquthny berkata, “Tidak valid.”
Ibn Daqiq al-Ied berkata, “Mereka (ulama hadits) tidak menilainya valid.” Bahkan Ibn al-Jawzy memuatnya di dalam kitabnya al-Mawdluu’aat (kitab yang khusus berisi hadits-hadits Mawdlu’).
Al-Hafizh Abu Sa’id al-‘Alaa`iy berkata, “Yang benar, bahwa ia hadits Hasan bila dilihat dari jalur-jalurnya, tidak shahih dan juga tidak Dla’if apalagi dikatakan Mawdlu’ (palsu).”
Menurutku (Imam as-Suyuthiy, pengarang buku rujukan dalam kajian kita ini): “Memang demikian yang dikatakan Syaikhul Islam Ibn Hajar (al-Haitsamy-red.,) dalam fatwanya. Ucapan al-‘Alaa`iy dan Ibn Hajar tersebut telah saya paparkan panjang lebar di dalam kitab saya at-Ta’aqqubaat yang menyanggah statement yang terdapat di dalam kitab al-Mawdluaa’aat tersebut.
Pendapat Syaikh Muhammad Luthfi
ash-Shabbaagh, Penahqiq (peneliti) buku:
Ini hadits MAWDLU’ (PALSU), untuk itu silahkan lihat:
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.97
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn ad-Dubai’, h.33
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.I, h.203
- Al-Mawdluu’aat karya Ibn al-Jawzy, Jld.I, h.439
- Al-La`aaly, Jld.I, h.329
- Tanziih asy-Syari’ah, Jld.I, h.377
- Ahaadiits al-Qushshaash, h.15
- Al-Fawaa`id karya al-Karmy, h.57
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.348-354
- Al-Asraar, h.71
- Tadzkirah al-Mawdluaa’aat, h.95
- Al-Fataawa al-Hadiitsiyyah, h.126
- Miizaan al-I’tidaal, Jld.II, h.251
- Asna al-Mathaalib, h.72
- Tuhfah al-Ahwadzy, Jld.IV, h.329
- Al-Mustadrak, Jld.III, h.126 (telah dinilai shahih oleh al-Haakim namun kemudian ditelusuri jalurnya oleh Imam adz-Dzahaby yang berkomentar, “Bahkan hadits Mawdlu’. Ia (al-Haakim) mengatakan, “Abu ash-Shalt [salah seorang periwayat hadits] adalah seorang yang Tsiqah, Ma`mun. Menurutku (ad-Dzahaby), “Demi Allah, ia bukan Tsiqah dan bukan pula Ma`mun.”)
- Dla’if al-Jami’ ash-Shaghiir karya Syaikh al-Albany, no.1322
- Al-Kaamil karya Ibn ‘Ady, Jld.I, h.193
- Adl-Dlu’afaa` karya al-‘Uqaily, Jld.III, h.150
- Majma’ az-Zawaa`id, Jld.IX, h.114
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsiarah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh, h.70, hadits no.38)
TAMBAHAN DARI REDAKSI:
Dalam teks yang kami temukan di sunan at-Turmudzy tertulis:
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Turmudzy dari hadits ‘Ali seraya berakata, “Hadits Munkar.” Hadits ini juga dingkari oleh al-Bukhary. Di samping itu, juga diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak dari hadits Ibn ‘Abbas. Ia mengomentari, “Hadits Shahih.” Namun Imam adz-Dzahaby berkata, “Bahkan ia hadits Mawdlu’ (Palsu).” Abu Zur’ah berkata, “Alangkah banyaknya orang yang menyingkap boroknya.”
Ad-Daruquthny berkata, “Tidak valid.”
Ibn Daqiq al-Ied berkata, “Mereka (ulama hadits) tidak menilainya valid.” Bahkan Ibn al-Jawzy memuatnya di dalam kitabnya al-Mawdluu’aat (kitab yang khusus berisi hadits-hadits Mawdlu’).
Al-Hafizh Abu Sa’id al-‘Alaa`iy berkata, “Yang benar, bahwa ia hadits Hasan bila dilihat dari jalur-jalurnya, tidak shahih dan juga tidak Dla’if apalagi dikatakan Mawdlu’ (palsu).”
Menurutku (Imam as-Suyuthiy, pengarang buku rujukan dalam kajian kita ini): “Memang demikian yang dikatakan Syaikhul Islam Ibn Hajar (al-Haitsamy-red.,) dalam fatwanya. Ucapan al-‘Alaa`iy dan Ibn Hajar tersebut telah saya paparkan panjang lebar di dalam kitab saya at-Ta’aqqubaat yang menyanggah statement yang terdapat di dalam kitab al-Mawdluaa’aat tersebut.
Pendapat Syaikh Muhammad Luthfi
ash-Shabbaagh, Penahqiq (peneliti) buku:
Ini hadits MAWDLU’ (PALSU), untuk itu silahkan lihat:
- al-Maqaashid al-Hasanah karya as-Sakhawy, h.97
- TamyÎz ath-Thayyib Min al-Khabiits… karya Ibn ad-Dubai’, h.33
- Kasyf al-Khafaa` karya al-‘Ajluny, Jld.I, h.203
- Al-Mawdluu’aat karya Ibn al-Jawzy, Jld.I, h.439
- Al-La`aaly, Jld.I, h.329
- Tanziih asy-Syari’ah, Jld.I, h.377
- Ahaadiits al-Qushshaash, h.15
- Al-Fawaa`id karya al-Karmy, h.57
- Al-Fawaa`id karya asy-Syawkany, h.348-354
- Al-Asraar, h.71
- Tadzkirah al-Mawdluaa’aat, h.95
- Al-Fataawa al-Hadiitsiyyah, h.126
- Miizaan al-I’tidaal, Jld.II, h.251
- Asna al-Mathaalib, h.72
- Tuhfah al-Ahwadzy, Jld.IV, h.329
- Al-Mustadrak, Jld.III, h.126 (telah dinilai shahih oleh al-Haakim namun kemudian ditelusuri jalurnya oleh Imam adz-Dzahaby yang berkomentar, “Bahkan hadits Mawdlu’. Ia (al-Haakim) mengatakan, “Abu ash-Shalt [salah seorang periwayat hadits] adalah seorang yang Tsiqah, Ma`mun. Menurutku (ad-Dzahaby), “Demi Allah, ia bukan Tsiqah dan bukan pula Ma`mun.”)
- Dla’if al-Jami’ ash-Shaghiir karya Syaikh al-Albany, no.1322
- Al-Kaamil karya Ibn ‘Ady, Jld.I, h.193
- Adl-Dlu’afaa` karya al-‘Uqaily, Jld.III, h.150
- Majma’ az-Zawaa`id, Jld.IX, h.114
(SUMBER: ad-Durar al-Muntatsiarah Fi al-Ahaadiits al-Masyhuurah karya Imam as-Suyuthy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfy ash-Shhabbaagh, h.70, hadits no.38)
TAMBAHAN DARI REDAKSI:
Dalam teks yang kami temukan di sunan at-Turmudzy tertulis:
أَنَا دَارُ اْلحِكْمَةِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا
“Aku (Rasulullah) adalah Daar (rumah) ilmu dan ‘Ali
adalah pintunya.”
Jadi, bukan seperti teks hadits dalam buku rujukan kita di atas, barangkali ada teks lain di selain sembilan kitab hadits induk (al-Kutub at-Tis’ah).
Mengenai teks ini, at-Turmudzy mengatakan, “Hadits Gharib Munkar.”
Ath-Thiby mengatakan, “Sepertinya orang-orang Syi’ah berpegang pada permisalan ini bahwa mengambil ilmu dan hikmah dari beliau SAW adalah khusus buat ‘Ali, tidak seorang pun boleh melakukannya kecuali melalui perantaraannya sebab rumah hanya bisa dimasuki dari pintunya di mana Allah berfirman, ‘Dan masukilah rumah-rumah tersebut dari pintu-pintunya.’ Padahal sebenarnya itu sama sekali tidak dapat menjadi hujjah bagi mereka sebab Daar al-Jannah (Rumah surga) sendiri tidak seluas Daar (rumah) hikmah, sekali pun begitu, ia memiliki 8 pintu.” (Artinya, dari arah mana saja dari ke-delapan pintu itu bisa masuk, tidak mesti satu pintu sebagaimana klaim Syi’ah tersebut-red.,)
Al-Qaary mengatakan, “Ali adalah salah satu dari pintu-pintunya (pintu hikmah). Akan tetapi adanya pengkhususan itu mengandung semacam pengagungan (penghormatan) di mana ia memang demikian bila dibanding dengan sebagian shahabat dari sisi keagungan dan ilmu. Di antara hal yang menunjukkan bahwa posisi para shahabat semuanya sebagai pintu-pintu adalah hadits Nabi SAW, ‘Para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang; siapa pun yang kalian ikuti, pasti kalian mendapat petunjuk.’ Yaitu sebagai isyarat perbedaan tingkatan cahayanya di dalam mendapatkan petunjuk itu. Indikatornya, para Tabi’in mengambil semua ilmu syari’at seperti bacaan, tafsir, hadits, fiqih dari para shahabat lain selain ‘Ali juga. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa pintu itu tidak khusus miliknya semata, kecuali dalam satu pintu, yaitu masalah qadla’ sebab memang ada hadits mengenai dirinya seperti itu, yang berbunyi, ‘Ia (‘Ali) adalah orang yang paling mengerti qadla di antara kamu.’ Sama seperti yang dikatakan kepada Ubay bahwa ia adalah ‘orang yang paling bagus bacaannya di antara kamu’ , Zaid bin Tsabit sebagai yang ‘paling mengerti masalah fara’idh di antara kamu’ dan Mu’adz bin Jabal sebagai yang ‘paling mengerti masalah halal dan haram di antara kamu.’ ”
Tapi sayang, berdalil dengan hadits “Para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang…” juga tidak tepat, sebab menurut pensyarah sunan at-Turmudzy, al-Mubarakfury yang menukil dari Ibn Hajar bahwa hadits tentang ‘para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang…’ itu tidak shahih, sangat lemah bahkan Ibn Hazm menilainya sebagai hadits Mawdlu’. Al-Baihaqy mengetengahkan hadits Dla’if lainnya yang senada dengan itu lalu mengatakan bahwa bisa saja dijadikan perumpamaan dalam hal mereka itu (para shahabat) adalah seperti bintang tetapi tidak dalam memberi petunjuk. Dan hal ini sesuai dengan makna hadits shahih yang diriwayatkan Muslim, isinya, ‘Bintang-gemintang adalah amanah langit, bila bintang-gemintang itu hilang maka akan datanglah apa yang dijanjikan kepada ahli langit.’ Pendapat al-Baihaqy ini didukung oleh Ibn Hajar sekali pun beliau menegaskan bahwa makna zhahir hadits yang ada di shahih Muslim itu (hanya) berbicara tentang fitnah yang akan terjadi setelah berakhirnya masa shahabat, yaitu dengan munculnya berbagai bid’ah dan perbuatan-perbuatan keji di seluruh muka bumi.” (alias tidak terkait dengan makna kedua hadits lemah di atas-red.,)
(Lihat, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Turmudzy karya al-Mubaarakfuury, terkait dengan syarah hadits di atas)
Kesimpulan:
- Bahwa kualitas hadits tersebut adalah MAWDLU’ sebagaimana yang dianalisis oleh Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbaagh.
- Bahwa ‘Ali memang memiliki kedudukan lebih dari sebagian para shahabat dari sisi keagungan dan ilmu, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena itu, ia lah satu-satunya pintu ilmu, apalagi dengan klaim karena hal itu telah dikhususkan Nabi SAW kepadanya. Terlebih lagi, bila dalilnya hadits di atas, Wallahu a’lam.
Jadi, bukan seperti teks hadits dalam buku rujukan kita di atas, barangkali ada teks lain di selain sembilan kitab hadits induk (al-Kutub at-Tis’ah).
Mengenai teks ini, at-Turmudzy mengatakan, “Hadits Gharib Munkar.”
Ath-Thiby mengatakan, “Sepertinya orang-orang Syi’ah berpegang pada permisalan ini bahwa mengambil ilmu dan hikmah dari beliau SAW adalah khusus buat ‘Ali, tidak seorang pun boleh melakukannya kecuali melalui perantaraannya sebab rumah hanya bisa dimasuki dari pintunya di mana Allah berfirman, ‘Dan masukilah rumah-rumah tersebut dari pintu-pintunya.’ Padahal sebenarnya itu sama sekali tidak dapat menjadi hujjah bagi mereka sebab Daar al-Jannah (Rumah surga) sendiri tidak seluas Daar (rumah) hikmah, sekali pun begitu, ia memiliki 8 pintu.” (Artinya, dari arah mana saja dari ke-delapan pintu itu bisa masuk, tidak mesti satu pintu sebagaimana klaim Syi’ah tersebut-red.,)
Al-Qaary mengatakan, “Ali adalah salah satu dari pintu-pintunya (pintu hikmah). Akan tetapi adanya pengkhususan itu mengandung semacam pengagungan (penghormatan) di mana ia memang demikian bila dibanding dengan sebagian shahabat dari sisi keagungan dan ilmu. Di antara hal yang menunjukkan bahwa posisi para shahabat semuanya sebagai pintu-pintu adalah hadits Nabi SAW, ‘Para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang; siapa pun yang kalian ikuti, pasti kalian mendapat petunjuk.’ Yaitu sebagai isyarat perbedaan tingkatan cahayanya di dalam mendapatkan petunjuk itu. Indikatornya, para Tabi’in mengambil semua ilmu syari’at seperti bacaan, tafsir, hadits, fiqih dari para shahabat lain selain ‘Ali juga. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa pintu itu tidak khusus miliknya semata, kecuali dalam satu pintu, yaitu masalah qadla’ sebab memang ada hadits mengenai dirinya seperti itu, yang berbunyi, ‘Ia (‘Ali) adalah orang yang paling mengerti qadla di antara kamu.’ Sama seperti yang dikatakan kepada Ubay bahwa ia adalah ‘orang yang paling bagus bacaannya di antara kamu’ , Zaid bin Tsabit sebagai yang ‘paling mengerti masalah fara’idh di antara kamu’ dan Mu’adz bin Jabal sebagai yang ‘paling mengerti masalah halal dan haram di antara kamu.’ ”
Tapi sayang, berdalil dengan hadits “Para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang…” juga tidak tepat, sebab menurut pensyarah sunan at-Turmudzy, al-Mubarakfury yang menukil dari Ibn Hajar bahwa hadits tentang ‘para shahabatku adalah seperti bintang-gemintang…’ itu tidak shahih, sangat lemah bahkan Ibn Hazm menilainya sebagai hadits Mawdlu’. Al-Baihaqy mengetengahkan hadits Dla’if lainnya yang senada dengan itu lalu mengatakan bahwa bisa saja dijadikan perumpamaan dalam hal mereka itu (para shahabat) adalah seperti bintang tetapi tidak dalam memberi petunjuk. Dan hal ini sesuai dengan makna hadits shahih yang diriwayatkan Muslim, isinya, ‘Bintang-gemintang adalah amanah langit, bila bintang-gemintang itu hilang maka akan datanglah apa yang dijanjikan kepada ahli langit.’ Pendapat al-Baihaqy ini didukung oleh Ibn Hajar sekali pun beliau menegaskan bahwa makna zhahir hadits yang ada di shahih Muslim itu (hanya) berbicara tentang fitnah yang akan terjadi setelah berakhirnya masa shahabat, yaitu dengan munculnya berbagai bid’ah dan perbuatan-perbuatan keji di seluruh muka bumi.” (alias tidak terkait dengan makna kedua hadits lemah di atas-red.,)
(Lihat, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Turmudzy karya al-Mubaarakfuury, terkait dengan syarah hadits di atas)
Kesimpulan:
- Bahwa kualitas hadits tersebut adalah MAWDLU’ sebagaimana yang dianalisis oleh Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbaagh.
- Bahwa ‘Ali memang memiliki kedudukan lebih dari sebagian para shahabat dari sisi keagungan dan ilmu, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena itu, ia lah satu-satunya pintu ilmu, apalagi dengan klaim karena hal itu telah dikhususkan Nabi SAW kepadanya. Terlebih lagi, bila dalilnya hadits di atas, Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=87
0 komentar:
Posting Komentar